Jumat, 13 Januari 2012

Lukisan Cadas Sulawesi Selatan

Lukisan gua di Indonesia diketahui berkembang pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (Kosasih, 1983). Menurut H.R. Van Hekeren (1972, dalam Permana 2008) kemungkinan besar kehidupan gua di Sulawesi Selatan berlangsung sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Lukisan gua di Indonesia tersebar di wilayah Sulawesi Selatan, Kepulauan Maluku, Papua, dan Kalimantan.


Pada tahun 1950 .H.M. Heeren-Palm menemukan lukisan gua di Sulawesi Selatan tepatnya di Leang Pattae. Di gua ini ditemukan cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah, barangkali ini merupakan cap tangan kiri perempuan. Ada pun cap-cap tangan ini dibuat dengan cara merentangkan jari-jari tangan itu di dinding gua kemudian ditaburi dengan cat merah. Selain cap tangan ditemukan juga lukisan seekor babi rusa yang sedang melompat dengan panah di bagian jantungnya. Lukisan semacam ini dimaksudkan sebagai suatu harapan agar mereka berhasil berburu di dalam hutan. Lukisan babi dan rusa tadi digambarkan dengan garis-garis horizontal bewarna merah (Poespoenegoro, 2008: 187).

Berdasarkan data geografi dan data arkeologi, ada dua wilayah di Sulawesi Selatan yang memiliki gua berlukis yaitu wilayah Kabupaten Maros (Kompleks Maros) dan Kabupaten Pangkajene (Kompleks Pangkajene).

Kompleks Maros, merupakan objek arkeologi yang sering diteliti, bahkan paling banyak diteliti oleh dalam dan luar negeri serta paling lama diteliti, yaitu sejak zaman Belanda sampai sekarang.
Kompleks Pangkajene, merupakan wilayah yang memiliki lukisan gua yang paling banyak jumlahnya, antara lain Garunggung, Lasitae, Bulu Ballang, Lompoa, Kassi, Sapiria, Sakapao, Akarasaka, Sumpangbita, Bulusumi, Bulu Sipong, Camingkana, Patenungan, Bulu Ribba, Salluka, dan Cumi Lantang.

Gua-gua yang ada di Sulawesi Selatan memiliki lukisan yang sangat bervariasi, tidak hanya teknik penggambarannya tetapi juga perihal keragaman polanya. Warna merah sebagai warna dominan walapun ada beberapa gua yang menampilkan pola manusia dengan warna hitam, yaitu gua Lompoa, Kassi, dan Sapiria. Adapun gambar pola yang dimaksud antara lain gambar cap kaki, anoa, dan sampan hanya terdapat di Gua Sumpang Bita. Pola ikan ditemukan di gua Lasitae, Bulu Ballang, Akarassaka, Bulu Sippong, dan Bulu Ribba. Di gua Bulu Ballang terdapat juga pola kura-kura, sedangkan gua Bulu Ribba hanya tertela seekor ikan jenis lumba-lumba. Secara umum gua-gua tersebut memunyai pola cap tangan dan babi, sedangkan pola perahu hanya terdapat pada Gua Bulu Sippong. Satu-satunya pola babi yang memiliki pola religi-magis, yang dibuktikan dengan adanya semacam tatu atau bekas luka di punggungnya, terdapat di gua Sakapao (Poesponegoro, 2008: 198).

Pada dinding gua Sakapao tertela pola lukisan bewarna merah yang terdiri dari cap tangan dan babi. Untuk beberapa cap tangan, ada yang hanya digambar tangan bagian bawahnya. Gambar pola babi yang terdapat dalam lukisan ini nampaknya memiliki sebuah keunikan. Pertama, memperlihatkan suatu goresan pada tubuh seekor babi yang menyerupai bekas luka, mungkin akibat dari terkena sabetan senjata tajam atau tusukan tombak. Dari lukisan ini banyak orang yang mengartikan atau menghubungkannya dengan kekuatan magis, seperti makna lukisan yang terdapat dalam gua Pattakere I. Selain bermakna magis gambar ini juga dapat ditafsirkan sebagai simbol dalam perburuan, di mana masyarakat pada masa itu sudah mengenal perburuan babi, baik untuk bahan makanan maupun keperluan upacara. Kedua, menampilkan gambar babi yang tumpang-tindih, keduanya menghadap ke kanan. Kalau kita cermati lebih jeli nampak bahwa gambar babi memperlihatkan babi berkelamin. Adegan ini cenderung memiliki maksud memperlihatkan atau berhubungan dengan masalah kesuburan.

1 komentar:

  1. Saya sedang mencoba membuktikan bahwa nenek moyang kita punya aksaranya sendiri. Sayang, di antara "huruf" yang terdapat pada lukisan gua di Indonesia, saya hanya mendapati satu "simbol" (quiva) pada lukisan di Pangkajene Kepulauan. Andaikan dapat ditemukan "huruf" yang lebih penting, misalnya gambar "cakra" sebagai "aksara" untuk Tuhan, mungkin akan lebih mencerahkan.

    Salam, MMeSeM.

    BalasHapus