Lukisan gua di Indonesia diketahui berkembang pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (Kosasih, 1983). Menurut H.R. Van Hekeren (1972, dalam Permana 2008) kemungkinan besar kehidupan gua di Sulawesi Selatan berlangsung sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Lukisan gua di Indonesia tersebar di wilayah Sulawesi Selatan, Kepulauan Maluku, Papua, dan Kalimantan.
Pada tahun 1950 .H.M. Heeren-Palm menemukan lukisan gua di Sulawesi Selatan tepatnya di Leang Pattae. Di gua ini ditemukan cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah, barangkali ini merupakan cap tangan kiri perempuan. Ada pun cap-cap tangan ini dibuat dengan cara merentangkan jari-jari tangan itu di dinding gua kemudian ditaburi dengan cat merah. Selain cap tangan ditemukan juga lukisan seekor babi rusa yang sedang melompat dengan panah di bagian jantungnya. Lukisan semacam ini dimaksudkan sebagai suatu harapan agar mereka berhasil berburu di dalam hutan. Lukisan babi dan rusa tadi digambarkan dengan garis-garis horizontal bewarna merah (Poespoenegoro, 2008: 187).
Berdasarkan data geografi dan data arkeologi, ada dua wilayah di Sulawesi Selatan yang memiliki gua berlukis yaitu wilayah Kabupaten Maros (Kompleks Maros) dan Kabupaten Pangkajene (Kompleks Pangkajene).
Kompleks Maros, merupakan objek arkeologi yang sering diteliti, bahkan paling banyak diteliti oleh dalam dan luar negeri serta paling lama diteliti, yaitu sejak zaman Belanda sampai sekarang.
Kompleks Pangkajene, merupakan wilayah yang memiliki lukisan gua yang paling banyak jumlahnya, antara lain Garunggung, Lasitae, Bulu Ballang, Lompoa, Kassi, Sapiria, Sakapao, Akarasaka, Sumpangbita, Bulusumi, Bulu Sipong, Camingkana, Patenungan, Bulu Ribba, Salluka, dan Cumi Lantang.
Gua-gua yang ada di Sulawesi Selatan memiliki lukisan yang sangat bervariasi, tidak hanya teknik penggambarannya tetapi juga perihal keragaman polanya. Warna merah sebagai warna dominan walapun ada beberapa gua yang menampilkan pola manusia dengan warna hitam, yaitu gua Lompoa, Kassi, dan Sapiria. Adapun gambar pola yang dimaksud antara lain gambar cap kaki, anoa, dan sampan hanya terdapat di Gua Sumpang Bita. Pola ikan ditemukan di gua Lasitae, Bulu Ballang, Akarassaka, Bulu Sippong, dan Bulu Ribba. Di gua Bulu Ballang terdapat juga pola kura-kura, sedangkan gua Bulu Ribba hanya tertela seekor ikan jenis lumba-lumba. Secara umum gua-gua tersebut memunyai pola cap tangan dan babi, sedangkan pola perahu hanya terdapat pada Gua Bulu Sippong. Satu-satunya pola babi yang memiliki pola religi-magis, yang dibuktikan dengan adanya semacam tatu atau bekas luka di punggungnya, terdapat di gua Sakapao (Poesponegoro, 2008: 198).
Pada dinding gua Sakapao tertela pola lukisan bewarna merah yang terdiri dari cap tangan dan babi. Untuk beberapa cap tangan, ada yang hanya digambar tangan bagian bawahnya. Gambar pola babi yang terdapat dalam lukisan ini nampaknya memiliki sebuah keunikan. Pertama, memperlihatkan suatu goresan pada tubuh seekor babi yang menyerupai bekas luka, mungkin akibat dari terkena sabetan senjata tajam atau tusukan tombak. Dari lukisan ini banyak orang yang mengartikan atau menghubungkannya dengan kekuatan magis, seperti makna lukisan yang terdapat dalam gua Pattakere I. Selain bermakna magis gambar ini juga dapat ditafsirkan sebagai simbol dalam perburuan, di mana masyarakat pada masa itu sudah mengenal perburuan babi, baik untuk bahan makanan maupun keperluan upacara. Kedua, menampilkan gambar babi yang tumpang-tindih, keduanya menghadap ke kanan. Kalau kita cermati lebih jeli nampak bahwa gambar babi memperlihatkan babi berkelamin. Adegan ini cenderung memiliki maksud memperlihatkan atau berhubungan dengan masalah kesuburan.
Jumat, 13 Januari 2012
Alat Tulang Prasejarah
Di daerah Asia Tenggara, alat-alat tulang banyak ditemukan di daerah Tonkin, gua-gua di daerah Honbin, dan di bukit kerang Da But (Vietnam Utara) temuan-temuan itu menunjukan persamaan dengan alat-alat tulang dari Gua Sampung.
Tradisi pembuatan alat tulang dan tanduk nampaknya merupakan hal yang bersifat universal. Di Kawasan Eropa Barat pernah mengalami perkembangan yang menonjol dalam penggunaan alat-alat dari tulang pada tingkat paleolitik akhir di situs Magdaleine (Dordogne, Prancis) yang kemudian disebut kebudayaan Magdalenian. Ciri-ciri kebudayaan ini juga nampak di situs Creswell Crags yang kemudian disebut dengan Kebudayaan Creswellian.Di kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, khususnya Indonesia perkembangan peralatan yang terbuat dari batu dan tulang sementara ini diketahui dari kebudayaan dalam konteks Pithecanthropus dan alat-alat lain yang dibuat dari tanduk, serpih, serta batu-batu bundar.
Di gua Sampung ditemukan sejumlah besar sudip tulang, dan alat-alat tanduk yang diupam. Pekakas tanduk digunakan sebagai pencukil atau belati. Sejauh yang diketahui, persebaran alat tulang dan tanduk di Nusantara kemudian tersebar kebeberapa wilayah seperti Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Di Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali dan Nusa TenggaraTimur.
Candi Badut
Candi Badut terletak di Dukuh Gasek, Desa Karang Besuki, Kesamatan Dau, Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Candi Badut terletak di kaki Gunung Kawi. Candi Badut diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan. Candi Badut telah purna pugar pada 1994 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan denggat tenggat waktu pemugaran dari tahun 1990. Sebelumnya candi ini telah dipugar pada tahun di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda.
Candi Badut diduga merupakan suatu kompleks Percandian yang dikelilingi pagar tembok, namun sekarang telah hilang. Letak bangunan candi tidak di pusat halaman candi. Terletak di dataran rendah, pada ketingian 508 meter di atas permukaan air laut. Candi ini terbuat dari bahan batu andesit dengan ukuran panjang 17,27 meter, lebar 24 meter dan tinggi 8 meter. Pintu Candi barat. Pada pintu masuk ke ruang candi dihiasi Kalamakara.
Dilihat dari segi arsitekturnya Candi Badut memiliki kemiripan dengan candi-candi di Jawa Tengah periode bad ke-8 hingga ke-10 Masehi, terutama kemiripannya bisa kita lihat di kawasan dataran tinggi Dieng seperti Candi Gedong Songo. Dari peninggalan berupa sisa-sisa pondasi tiga buah candi perwara (candi kecil yang mengitari candi Induk), menunjukan apabila Candi Badut merupakan kompleks percandian.
Kuat dugaan bahwa Candi Badut merupakan Candi denga gaya Arsitektur peralihan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Kemungkinan juga merupakan suatu bukti terjadinya perpindahan pusat kerajaan ke timur. Dalam hubungan ini para sarjana cenderung menghubungkan berita perpindahan kerajaan Holing ke timur sekitar tahun 740 Masehi. Kemudian diartikan bahwa raja dari dinasti sanjaya menyingkir ke timur karena terdesak oleh dinasti Sailendra. Daerah yang dimaksud mungkin adalah sekitar Malang sekarang.
Bagian kaki
Secara morfologis, kaki candi terdiri atas perbingkaian bawah, badan kaki dan perbingkaian atas tetapi kaki Candi Badut hanya mempunyai bingkai bawah dan badan kaki. Bingkai bawah terdiri dari pelipi rata, sedangkan badan kaki candi berupa susunan bata-bata rata, polos dan tidak mempunyai hiasan sama sekali. Pada bagian depan candi terdapat tangga naik ke bilik candi dihiasi ukiran, pada tangga sebelah selatan terdapat Fragmen relief kinarakinari (Mahluk Surga berkepala manusia berbadan burung yang bertugas memainkan lantunan musik Surgawi). Sebelum masuk ke bilik candi terdapat selasar keliling dengan pradaka sinaptha.
Bagian badan
Badan Candi Badut lebih besar dari tingginya. Pintu bilik berpenampil (poritico) yang mengingatkan pada langgam seni bangunan Jawa Tengah. Pada dinding luar badan candi terdapat relung-relung yang di dalamnya terdapat arca. Namun diantara semua arca itu hanya arca Durga Mahesasuramardhini saja yang tersisa. Durga Mahesasuramardhini (relung utara), Syiwa sebagai Mahaguru atau Agastya (biasanya terdapat di relung selatan), sedangkan di relung timur biasanya berisi arca Ganesa. Relung-relung tersebut memiliki bingkai kara makara. Di sisi kiri-kanan pintu masuk terdapat relung-relung kecil dengan penampil berisi Mahakala dan Nandiswara. Bidang-bidang di samping relung-relung itu diisi dengan hiasan pola bunga.
Bagian atap candi telah rusak, hanya tinggal lapis pertama yang tidak lengkap. Menurut hasil rekonstruksi yang pernah dilakukan, tampak bagian atap candi terdiri atas dua tingkat yang serupa dengan tubuh candi tetapi makin ke atas semakin kecil dan ditutup dengan puncak ratna. Hiasan yang terdapat pada atap berupa antefix.Di depan candi induk terdapat tiga bekas alas candi kecil (candi perwara). Diperkirakan bentuknya sama dengan candi induk. Candi tersebut berjajar arah utara selatan dan menghadap ke timur.
Candi perwara yang di tengah berisi arca Nandi, di selatan terdapat lingga yoni, sedangkan di utara tidak diketahui. Susunan yang terdiri dari tiga candi yang lebih kecil dan berhadapan membuktikan bahwa Candi Badut merupakan salah satu candi yang tertua di Jawa Timur.
Candi Badut dalam Sejarah
Kata Badut di sini berasal dari bahasa sansekerta “Bha-dyut” yang berarti Sorot Agastya. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah pasangan arca Siwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni.
Candi ini ditemukan pada tahun 1921 dimana bentuknya pada saat itu hanya berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Candi Badut dibangun kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya.
Candi Badut diperkirakan dibangun pada abad VIII Masehi. Masa pendirian bangunan dihubungkan dengan prasasti Dinoyo 760 Masehi (682 Saka). Prasasti dibuat dari batu bertuliskan huruf Kawi, berbahasa Sansekerta dan menyebutkan bahwa pada abad VIII Masehi, ada kerajaan berpusat di Kanjuruhan Desa Kejuron) di bawah pemerintahan Raja Dewa Simha yang berputera seorang laki-laki bernama Limwa. Limwa mempunyai seorang puteri. Uttejana yang menikah dengan Jananeya. Limwa menggantikan ayahnya dan berganti nama dengan Gajayana. Pada pemerintahan Gajayana itulah didirikan Candi Badut. Dikatakan pula bahwa pendirian bangunan tersebut tanggal 1 Kresnapaksa bulan Margasirsa tahun 682 Saka (28 Nopember 760 Masehi) untuk tempat Agastya berikut arcanya dari batu hitam yang sangat indah. Arca tersebut ditasbihkan oleh para pendeta yang paham akan kitab Weda beserta para petapa sthapaka dan rakyat. Pada kesempatan ini raja menganugerahkan sebidang tanah, sapi dan kerbau, budak laki-laki dan perempuan sebagai penjaga, juga segala keperluan untuk pendeta seperti keperluan pemujaan, penyucian diri dan bangunan tempat peristirahatan para pengunjung. Dengan adanya arca Durga, Agastya dan lingga yoni maka Candi Badut merupakan candi-candi agama Hindu.
Kepustakaan:
Abas, H.M.S, Drs, M.Si. Dkk. (2001). PENINGGALAN SEJARAH DAN KEPURBAKALAAN di Jawa Timur. Jawa Timur: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Agus Sunyoto. 2000. Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten Malang. Malang: Lingkaran Studi Kebudayaan Malang
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. (1995). Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Candi Badut diduga merupakan suatu kompleks Percandian yang dikelilingi pagar tembok, namun sekarang telah hilang. Letak bangunan candi tidak di pusat halaman candi. Terletak di dataran rendah, pada ketingian 508 meter di atas permukaan air laut. Candi ini terbuat dari bahan batu andesit dengan ukuran panjang 17,27 meter, lebar 24 meter dan tinggi 8 meter. Pintu Candi barat. Pada pintu masuk ke ruang candi dihiasi Kalamakara.
Dilihat dari segi arsitekturnya Candi Badut memiliki kemiripan dengan candi-candi di Jawa Tengah periode bad ke-8 hingga ke-10 Masehi, terutama kemiripannya bisa kita lihat di kawasan dataran tinggi Dieng seperti Candi Gedong Songo. Dari peninggalan berupa sisa-sisa pondasi tiga buah candi perwara (candi kecil yang mengitari candi Induk), menunjukan apabila Candi Badut merupakan kompleks percandian.
Kuat dugaan bahwa Candi Badut merupakan Candi denga gaya Arsitektur peralihan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Kemungkinan juga merupakan suatu bukti terjadinya perpindahan pusat kerajaan ke timur. Dalam hubungan ini para sarjana cenderung menghubungkan berita perpindahan kerajaan Holing ke timur sekitar tahun 740 Masehi. Kemudian diartikan bahwa raja dari dinasti sanjaya menyingkir ke timur karena terdesak oleh dinasti Sailendra. Daerah yang dimaksud mungkin adalah sekitar Malang sekarang.
Bagian kaki
Secara morfologis, kaki candi terdiri atas perbingkaian bawah, badan kaki dan perbingkaian atas tetapi kaki Candi Badut hanya mempunyai bingkai bawah dan badan kaki. Bingkai bawah terdiri dari pelipi rata, sedangkan badan kaki candi berupa susunan bata-bata rata, polos dan tidak mempunyai hiasan sama sekali. Pada bagian depan candi terdapat tangga naik ke bilik candi dihiasi ukiran, pada tangga sebelah selatan terdapat Fragmen relief kinarakinari (Mahluk Surga berkepala manusia berbadan burung yang bertugas memainkan lantunan musik Surgawi). Sebelum masuk ke bilik candi terdapat selasar keliling dengan pradaka sinaptha.
Bagian badan
Badan Candi Badut lebih besar dari tingginya. Pintu bilik berpenampil (poritico) yang mengingatkan pada langgam seni bangunan Jawa Tengah. Pada dinding luar badan candi terdapat relung-relung yang di dalamnya terdapat arca. Namun diantara semua arca itu hanya arca Durga Mahesasuramardhini saja yang tersisa. Durga Mahesasuramardhini (relung utara), Syiwa sebagai Mahaguru atau Agastya (biasanya terdapat di relung selatan), sedangkan di relung timur biasanya berisi arca Ganesa. Relung-relung tersebut memiliki bingkai kara makara. Di sisi kiri-kanan pintu masuk terdapat relung-relung kecil dengan penampil berisi Mahakala dan Nandiswara. Bidang-bidang di samping relung-relung itu diisi dengan hiasan pola bunga.
Bagian atap candi telah rusak, hanya tinggal lapis pertama yang tidak lengkap. Menurut hasil rekonstruksi yang pernah dilakukan, tampak bagian atap candi terdiri atas dua tingkat yang serupa dengan tubuh candi tetapi makin ke atas semakin kecil dan ditutup dengan puncak ratna. Hiasan yang terdapat pada atap berupa antefix.Di depan candi induk terdapat tiga bekas alas candi kecil (candi perwara). Diperkirakan bentuknya sama dengan candi induk. Candi tersebut berjajar arah utara selatan dan menghadap ke timur.
Candi perwara yang di tengah berisi arca Nandi, di selatan terdapat lingga yoni, sedangkan di utara tidak diketahui. Susunan yang terdiri dari tiga candi yang lebih kecil dan berhadapan membuktikan bahwa Candi Badut merupakan salah satu candi yang tertua di Jawa Timur.
Candi Badut dalam Sejarah
Kata Badut di sini berasal dari bahasa sansekerta “Bha-dyut” yang berarti Sorot Agastya. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah pasangan arca Siwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni.
Candi ini ditemukan pada tahun 1921 dimana bentuknya pada saat itu hanya berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Candi Badut dibangun kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya.
Candi Badut diperkirakan dibangun pada abad VIII Masehi. Masa pendirian bangunan dihubungkan dengan prasasti Dinoyo 760 Masehi (682 Saka). Prasasti dibuat dari batu bertuliskan huruf Kawi, berbahasa Sansekerta dan menyebutkan bahwa pada abad VIII Masehi, ada kerajaan berpusat di Kanjuruhan Desa Kejuron) di bawah pemerintahan Raja Dewa Simha yang berputera seorang laki-laki bernama Limwa. Limwa mempunyai seorang puteri. Uttejana yang menikah dengan Jananeya. Limwa menggantikan ayahnya dan berganti nama dengan Gajayana. Pada pemerintahan Gajayana itulah didirikan Candi Badut. Dikatakan pula bahwa pendirian bangunan tersebut tanggal 1 Kresnapaksa bulan Margasirsa tahun 682 Saka (28 Nopember 760 Masehi) untuk tempat Agastya berikut arcanya dari batu hitam yang sangat indah. Arca tersebut ditasbihkan oleh para pendeta yang paham akan kitab Weda beserta para petapa sthapaka dan rakyat. Pada kesempatan ini raja menganugerahkan sebidang tanah, sapi dan kerbau, budak laki-laki dan perempuan sebagai penjaga, juga segala keperluan untuk pendeta seperti keperluan pemujaan, penyucian diri dan bangunan tempat peristirahatan para pengunjung. Dengan adanya arca Durga, Agastya dan lingga yoni maka Candi Badut merupakan candi-candi agama Hindu.
Kepustakaan:
Abas, H.M.S, Drs, M.Si. Dkk. (2001). PENINGGALAN SEJARAH DAN KEPURBAKALAAN di Jawa Timur. Jawa Timur: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Agus Sunyoto. 2000. Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten Malang. Malang: Lingkaran Studi Kebudayaan Malang
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. (1995). Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tribhuwana Tunggadewi
Menurut Kakawin Nagarakrtagama, pada tahun 1251 Saka/1329 AD atas titah ibundanya, Dyah Gayatri, Tribhuwana naik tahta Majapahit menggantikan Jayanagara, ia memerintah didampingi suaminya Bhre Tumapel Dyah Krtawardhana. Masa pemerintahan Tribhuwana merupakan masa aktif perluasan wilayah Majapahit. di bawah pimpinannya pula Gajah Mada mengucapkan ‘Sumpah Palapa’, cita-cita menyatukan Nusantara, di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Tribhuwana Tunggadewi (Bhre Kahuripan), memerintah tahun 1250-1272 Saka (1328-1350 AD). Gelar nobat Bhatara Sakalayawadwipa Sri Tribhuwana Uttunggadewi Jayawisnuwardhani atau Sri Paduka Mahalaksmyawatara Sri Tribhuwanottungga Rajanantawikramaottunggadewi. Tribhuwana Wijayatunggadewi atau Tribhuwana Tunggadewi adalah Raja Majapahit ketiga. Prasasti Gajah Mada (1273 Saka/1351 AD) menyebutkan bahwa Tribhuwana sebagai raja bergelar nobat (abhiseka) Sri Tribhuwana Tunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.Tribhuwana Tunggadewi Ia memiliki nama kecil (garbhattpasutinama) Dyah Gitarja, putri pertama Raden Wijaya dari buah perkawinannya dengan Dyah Gayatri. Tribhuana Tunggadewi mempunyai adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.
Suami Tribhuwana bernama Cakradhara yang bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan Malayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatra. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.
Pada tahun 1331 Masehi ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima dalam penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya dalam Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit.
Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang tepat karena menurut Prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi raja Majapahit. Tribhuwana Tunggadewi diperkirakan turun takhta pada tahun 1351 (sesudah mengeluarkan Prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, Hayam Wuruk.
Belum diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371. Pararaton selanjutnya memberikan keterngan bahwa, Tribhuwana Tunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di Desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di Desa Japan.(_soedi)
Biodata
Nama : Ratna Kartika
NIM : 2105110019
Program Studi : Pendidikan Sejarah
Fakultas : FKIP Universitas Galuh Ciamis
TTL : Ciamis, 28 Juni 1993
Alamat : Dusun Sukaraja Desa Andapraja RT/RW 05/10 Kec. Rajadesa Kab. Ciamis 46254 Jawa Barat Indonesia
No Telp. : 085721242668
Hobby : olahraga
Riwayat Pendidikan :
- SDN 1 Andapraja
- SMPN 1 Rajadesa
- SMAN 1 Kawali
- Universitas Galuh Prodi Pendidikan Sejarah
NIM : 2105110019
Program Studi : Pendidikan Sejarah
Fakultas : FKIP Universitas Galuh Ciamis
TTL : Ciamis, 28 Juni 1993
Alamat : Dusun Sukaraja Desa Andapraja RT/RW 05/10 Kec. Rajadesa Kab. Ciamis 46254 Jawa Barat Indonesia
No Telp. : 085721242668
Hobby : olahraga
Riwayat Pendidikan :
- SDN 1 Andapraja
- SMPN 1 Rajadesa
- SMAN 1 Kawali
- Universitas Galuh Prodi Pendidikan Sejarah
Kerajaan Kutai
Keberadaan kerajaan Kutai diketahui berdasarkan sumber yang diketemukan diantaranya berupa prasasti berbentuk yupa (tiang batu) berjumlah tujuh buah. Kerajaan Kutai diperkirakan muncul pada abad ± 4 M dan merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara. Hingga saat ini, sangat sedikit bukti yang diketemukan guna menelusuri sejarah dan keberadaan Kerajaan ini.
Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Belum ada informasi yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh. Dari salah satu yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa sansekerta tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Mulawarman diduga adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta sedangkan Kundungga masih berbau lokal.Raja Kudungga diduga adalah raja pertama yang berkuasa di Kerajaan Kutai. Akan tetapi, apabila dilihat dari nama raja yang masih meng-gunakan nama lokal, para ahli berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Raja Kudungga pengaruh Hindu baru masuk ke wilayahnya. Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah seorang kepala suku. Dengan masuknya pengaruh Hindu, ia mengubah struktur pemerintahannya menjadi kerajaan dan mengangkat dirinya menjadi raja, sehingga pergantian raja dilakukan secara turun-temurun.
Aswawarman adalah raja yang pernah memerintah Kerajaan Kutai. Ia disebut sebagai Dewa Ansuman/Dewa Matahari Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Dalam yupa tersebut juga menyatakan bahwa Raja Aswawarman merupakan seorang raja yang cakap dan kuat. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kutai diperluas lagi. Hal ini dibuktikan dengan pelaksanaan upacaraAsmawedha.
Informasi tentang upacara sejenis di dapat dari negeri India, pada masa pemerintahan Raja Samudragupta ketika ingin memperluas wilayahnya. Dalam upacara Asmawedha dilaksanakan pelepasan kuda dengan tujuan untuk menentukan batas kekuasaan Kerajaan Kutai. Dengan kata lain, sampai di mana ditemukan tapak kaki kuda, maka sampai di situlah batas Kerajaan Kutai. Pelepasan kuda-kuda itu diikuti oleh prajurit Kerajaan Kutai. Aswawarman sendiri memiliki tiga orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.
Dalam kehidupan politik dari informasi yupa diketahui bahwa raja terbesar Kutai adalah Mulawarman. Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai diperkirakan berakhir saat muncul nama Kerajaan Kutai Kartanegara yang selanjutnya menjadi kerajaan Islam, Kesultanan Kutai Kartanegara.(_soedi)
Langganan:
Postingan (Atom)